Near drowing adalah suatu trauma akibat tenggelam, di mana
pasien dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama1-4. Morbiditas near drowing
sangat erat hubungannya dengan susunan saraf pusat yang diakibatkan oleh
gangguan paru berupa hipoksia, hipoperfusi, dan asidosis. Dalam keadaan yang
paling berat, near drowning bisa menyebabkan kegagalan berbagai organ5-7.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak
sekolah mempunyai risiko meninggal akibat tenggelam dalam air. Ini dihubungkan
dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak lebih tertarik bermain di
kolam renang, danau, sungai, dan laut karena mereka menganggap bermain air sama
dengan santai sehingga mereka lupa terhadap tindakan pengamanan8-11.
Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang
anak yang mengalami kecelakaan di kolam renang sesuai dengan keadaan sosial
ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia yang dikelilingi air,
baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi
kecelakaan dalam air seperti hanyut dan terbenam yang belum diberitahukan dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya6.
Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar
anak-anak laki-laki untuk semua kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang
atau tidak adanya pengawasan orangtua. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan
kejadian hampir tenggelam pada anak adalah tidak ada pengalaman/ketidakmampuan
berenang, bernapas terlalu dalam sebelum tenggelam, penderita epilepsi,
pengguna obat-obatan dan alkohol, serta kecelakaan perahu mesin dan perahu
dayung12-15.
Tujuan tulisan ini adalah menerangkan gambaran klinis,
patofisiologi, penanganan, dan prognosa near drowning 'hampir tenggelam'.
Patofisiologi
Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha
menyelamatkan diri secara panik disertai berhentinya pernapasan (breath
holding). Sepuluh sampai 12% korban tenggelam dapat langsung meninggal, dikenal
sebagai dry drowing karena tidak dijumpai aspirasi air di dalam paru. Mereka
meninggal akibat asphiksia waktu tenggelam yang disebabkan spase larings2.
Menurut Giammona (dikutip dari Hassan R.), spasme laring tersebut akan diikuti
asphiksia and penurunan kesadaran serta secara pasif air masuk ke jalan napas
dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan kematian yang disertai aspirasi
cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih banyak
terjadi, yakni 80--90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan oleh
tenggelam, tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya
hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai respons yang
berbeda-beda terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan organ
yang dominan mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap
hipoksia5,6,16.
Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan
paru, karena air laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari
plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan
fungsi perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas.
Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam
sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan
permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara
perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan
hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan
oedem paru yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi
paru5,16,17,18.
Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir
tenggelam terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan
keseimbangan asam basa. Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh adalah
perubahan volume darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir
tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer
yang intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian
apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks
diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga
terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin2,3,5,19.
Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut
sampai ventilasi, oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang
berlangsung lama bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan
resusitasi jantung paru yang adekuat. Dedem cerebri yang difus sering terjadi
akibat trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan
syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya,
biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak
yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini
memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah
orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak
dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit
anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi2. Anoksia dan iskemia
serebri yang berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian
tekanan intrakranial serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai
menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder1,2,16.
Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi
elektrolit serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit.
Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang
menyeluruh2,8.
Pasien hampir tenggelam setelah dilakukan resusitasi
biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb uria, oliguria, dan anuria kemudian
bisa menjadi nekrosis tubular akut2,7,17,20.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi
berhubungan dengan lamanya tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu
klasifikasi (dikutip oleh Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk pedoman
penilaian dan pengobatan pasien tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status
neurologis dan sangat berguna bila digunakan dalam 10 menit pertama5.
Tabel 1. Gambaran Klinik Mennurut Conn dan Barker (dikutip
oleh Aoky By)
Kategori A (Awake) Kategori
B (Blunted) Kategori C (Comatase)
Sadar (GCS 15) sianosis, apnoe beberapa menit dilakukan
pertolongan kembali bernapas spontan
Hipotermi ringan
Perubahan radiologis ringan pada dada
Laboratorium AGDA: asidosis metabolik, hipoksemia, pH <
7,1
Stupor (fungsi kortek memburuk)
Respons terhadap rangsangan.
Distress pernapasan, sianosis, tachypone, perubahan
auskultasi dada.
Perubahan radiologis dada
Laboratorium AGDA: asidosis metabolik, hipercarbia,
hipoksemia.
Koma (desfungsi batang otak)
Respons abnormal terhadap rangsangan nyeri.
Pernapasan sentral abnormal (disfungsi batang otak)
Hipotermi
Laboratorium AGDA abnormal
Pembagian:
C1 (dekortikasi): fleksi bila dirangsang nyeri, pernapasan
cheyne-stokes.
C2 (deserebrasi): ekstensi terhadap rangsangan nyeri,
hiperventilasi central (GCS 4)
C3 (flaccid): tidak ada respons terhadap nyeri, apnoe, atau
gagal napas (GCS 3)
C4 (deceased): flaccid, apnoe, sirkulasi tidak teraba.
Pada hipoksia berat (G3, C4) mengalami kegagalan organ
multisistem dan gambaran laboratorium yang abnormal seperti gangguan
kardiovaskuler (shock, dysritmia), gangguan metabolik (Bic-Net, kalium,
glukosa, calcium), diseminated intravaskuler coagulation, gagal ginjal, dan
gangguan gastrointestinal (perdarahan, pengelupasan mukosa)5.
Penanganan
Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol
yang dapat memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun,
belum ada pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang
konvensional. Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia
selain tindakan pencegahan dan resusitasi segera1,2,8,21.
Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit
korban tenggelam harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi
yang adekuat, tekanan gasa darah arteri, keadaan asam basa, serta saluran napas
harus bebas dari bahan muntah dan benda asing yang dapat mengakibatkan
abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak boleh dilakukan secara rutin
untuk mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti effektif karena bisa
meningkatkan risiko regurgitasi, aspirasi, dan kehilangan kontrol akan
memperberat trauma spinal7. Kecepatan dan efektivitas dalam melaksanakan
resusitasi ini sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks,
khususnya pada pasien-pasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak
efektif akibat fungsi paru yang memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih
berat dan berlanjut karena kerusakan organ yang multipel.
Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan
trauma otak pada korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya
dan resusitasi jantung paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan
karena hipoksia dengan cepat berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe.
Oleh karena itu, apabila tidak mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya
ventilasi mulut ke mulut harus dilakukan segera setelah penolong menarik
korban. Kemudian harus segera diberikan oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan
oksigen harus diberikan tanpa memandang keadaan pasien. Apabila korban
dicurigai mengalami trauma leher maka harus dibuat posisi netral dan
melindunginya dengan gips cervical (cervical colar)1,5,7.
Penanganan Rumah Sakit
Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban
pada pasien kategori A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis
supportif, sedangkan pasien kategori C membutuhkan tindakan untuk
mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Penolong juga harus mencari
dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher serta
mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah kejang5.
Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit,
serta rontgen thorax. Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat
diberikan O2, pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak
memerlukan pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak terkontaminasi.
Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah dapat dipulangkan sedangkan
sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan diberi pengobatan
simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama 12
sampai 24 jam5,16,20,22.
Kategori B
Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat
terhadap sistem saraf dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih
menonjol sehingga selain pemberian oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk
asidosis metabolik yang tidak terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru;
Aerosol B simptometik untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus
teraspirasi air yang terkontaminasi.
Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi
pernapasan dan neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid
tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan
pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia
yang mengiritasi sehingga korban ini membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian
infus sering diberikan untuk meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan yang
biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan
cairan yang dipakai harus cukup panas (40--43oC) untuk pasien hipotermi. Bila
cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa memancing timbulnya hipotermi. NGT
harus dipasang sejak pertama pasien ditolong, yang berguna untuk mengosongkan
lambung dari air yang terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila
oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan biasanya memakan waktu beberapa hari
dan sangat ditentukan oleh status paru5,7,13,18.
Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah
intubasi dan ventilasi. Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24
sampai 48 jam pertama, termasuk mereka yang usaha bernapasnya baik setelah
resusitasi untuk mencegah kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia dari
pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan selama
fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali
kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan espirasi 4
sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai gas
darah arteri sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. Bic-Nat,
bronchodilator, diuretik, dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam.
Penelitian membuktikan bahwa mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari
50% menjadi 25% sampai 35%. Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan
sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB diberikan melalui nebulizer terus-menerus
selama priode pengobatan2,23.
Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk
menjamin tranfer oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru
perlu dilanjutkan pada korban yang mengalami hipotensi dan syok setelah
membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid 20
ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak memberikan respons yang
memuaskan1,5. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat inotropik IV harus
diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien yang mengalami
takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien bradikardi. Pasien dengan
suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi jantung.
Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti
dengan pemberian phenobarbital seperti Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2
mg/kgBB IV bisa digunakan untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi
lebih efisien, mengurangi kebutuhan metabolik, serta bisa menekan risiko atau
ekstubasi yang tak terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien tetap
gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1 mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB
IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi. Pasien kategori C3 dan C4 harus
mendapat pengawasan dan tindakan untuk mempertahankan sistem metabolik, ginjal,
hematologi, gastrointestinal, dan neurologis serta dievaluasi dengan ketat
setelah pengobatan dimulai5.
Prognosis
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, banyak penderita
hampir tenggelam berat berhasil diselamatkan, ± 80% anak korban meninggal dapat
bertahan hidup, dan 92% di antaranya sembuh sempurna. Tetapi, mereka yang
memerlukan perawatan di ICU ± 30% meninggal dan 10--30% yang bertahan hidup
mengalami kerusakan otak yang berat6,7. Hal ini erat hubungannya dengan lama
hipoksia yang terjadi dan usaha kita menanggulanginya. Di samping itu, faktor
lain yang dapat memperberat prognosa adalah usia ≤ 3 tahun, lama tenggelam
diperkirakan maksimal ≥ 10 menit, tidak ada restitusi jantung paru dalam 10
menit setelah ditolong, koma ketika masuk ke ruang gawat darurat, dan pH <
7,11 (sesuai dengan kriteris Orlowsky). Penderita yang tenggelam di air dingin
mempunyai prognosa jauh lebih baik. Untuk mencegah terjadinya gejala sisa pada
korban hampir tenggelam maka peranan pertolongan resusitasi jantung paru pada
saat kejadian memegang peranan yang sangat penting2,19,24,25.
Kesimpulan
Korban dikatakan hampir tenggelam apabila korban dapat
bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Apabila tidak dilakukan penanganan segera
maka sebagian besar pasien mengalami kerusakan organ yang multipel dimana otak
merupakan organ yang sangat peka dalam hal ini.
Patofisiologi korban hampir tenggelam sangat tergantung
kepada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi.
Oleh sebab itu, tindakan di luar rumah sakit atau di tempat kejadian tenggelam
menentukan hasil tindakan di rumah sakit dan prognosa selanjutnya.
Untuk pengelolaan, korban hampir tenggelam dikategorikan
berdasarkan status neurologis. Kategori A dan B biasanya membutuhkan perawatan
medis supportif sedangkan penderita yang termasuk dalam kategori C membutuhkan
tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Juga harus
dicari dan ditangani trauma yang timbul, seperti masalah kejang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar