Sabtu, 12 April 2014

NEAR DROWNING (HAMPIR TENGGELAM)



Near drowing adalah suatu trauma akibat tenggelam, di mana pasien dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama1-4. Morbiditas near drowing sangat erat hubungannya dengan susunan saraf pusat yang diakibatkan oleh gangguan paru berupa hipoksia, hipoperfusi, dan asidosis. Dalam keadaan yang paling berat, near drowning bisa menyebabkan kegagalan berbagai organ5-7.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah mempunyai risiko meninggal akibat tenggelam dalam air. Ini dihubungkan dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak lebih tertarik bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena mereka menganggap bermain air sama dengan santai sehingga mereka lupa terhadap tindakan pengamanan8-11.

Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak yang mengalami kecelakaan di kolam renang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia yang dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi kecelakaan dalam air seperti hanyut dan terbenam yang belum diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya6.

Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar anak-anak laki-laki untuk semua kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang atau tidak adanya pengawasan orangtua. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak adalah tidak ada pengalaman/ketidakmampuan berenang, bernapas terlalu dalam sebelum tenggelam, penderita epilepsi, pengguna obat-obatan dan alkohol, serta kecelakaan perahu mesin dan perahu dayung12-15.

Tujuan tulisan ini adalah menerangkan gambaran klinis, patofisiologi, penanganan, dan prognosa near drowning 'hampir tenggelam'.

Patofisiologi

Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri secara panik disertai berhentinya pernapasan (breath holding). Sepuluh sampai 12% korban tenggelam dapat langsung meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena tidak dijumpai aspirasi air di dalam paru. Mereka meninggal akibat asphiksia waktu tenggelam yang disebabkan spase larings2. Menurut Giammona (dikutip dari Hassan R.), spasme laring tersebut akan diikuti asphiksia and penurunan kesadaran serta secara pasif air masuk ke jalan napas dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih banyak terjadi, yakni 80--90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam, tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan organ yang dominan mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia5,6,16.

Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas. Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru5,16,17,18.

Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam basa. Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer yang intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin2,3,5,19.

Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi, oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi jantung paru yang adekuat. Dedem cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi2. Anoksia dan iskemia serebri yang berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder1,2,16.

Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh2,8.

Pasien hampir tenggelam setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb uria, oliguria, dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubular akut2,7,17,20.

Gambaran Klinik

Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi (dikutip oleh Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk pedoman penilaian dan pengobatan pasien tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status neurologis dan sangat berguna bila digunakan dalam 10 menit pertama5.

Tabel 1. Gambaran Klinik Mennurut Conn dan Barker (dikutip oleh Aoky By)      
Kategori A (Awake)   Kategori B (Blunted)  Kategori C (Comatase)          
Sadar (GCS 15) sianosis, apnoe beberapa menit dilakukan pertolongan kembali bernapas spontan
Hipotermi ringan
Perubahan radiologis ringan pada dada
Laboratorium AGDA: asidosis metabolik, hipoksemia, pH < 7,1
Stupor (fungsi kortek memburuk)
Respons terhadap rangsangan.
Distress pernapasan, sianosis, tachypone, perubahan auskultasi dada.
Perubahan radiologis dada
Laboratorium AGDA: asidosis metabolik, hipercarbia, hipoksemia.
Koma (desfungsi batang otak)
Respons abnormal terhadap rangsangan nyeri.
Pernapasan sentral abnormal (disfungsi batang otak)
Hipotermi
Laboratorium AGDA abnormal

Pembagian:
C1 (dekortikasi): fleksi bila dirangsang nyeri, pernapasan cheyne-stokes.
C2 (deserebrasi): ekstensi terhadap rangsangan nyeri, hiperventilasi central (GCS 4)
C3 (flaccid): tidak ada respons terhadap nyeri, apnoe, atau gagal napas (GCS 3)
C4 (deceased): flaccid, apnoe, sirkulasi tidak teraba.

Pada hipoksia berat (G3, C4) mengalami kegagalan organ multisistem dan gambaran laboratorium yang abnormal seperti gangguan kardiovaskuler (shock, dysritmia), gangguan metabolik (Bic-Net, kalium, glukosa, calcium), diseminated intravaskuler coagulation, gagal ginjal, dan gangguan gastrointestinal (perdarahan, pengelupasan mukosa)5.

Penanganan

Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum ada pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang konvensional. Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia selain tindakan pencegahan dan resusitasi segera1,2,8,21.

Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban tenggelam harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan gasa darah arteri, keadaan asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah dan benda asing yang dapat mengakibatkan abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak boleh dilakukan secara rutin untuk mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti effektif karena bisa meningkatkan risiko regurgitasi, aspirasi, dan kehilangan kontrol akan memperberat trauma spinal7. Kecepatan dan efektivitas dalam melaksanakan resusitasi ini sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks, khususnya pada pasien-pasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak efektif akibat fungsi paru yang memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih berat dan berlanjut karena kerusakan organ yang multipel.

Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak pada korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan resusitasi jantung paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan karena hipoksia dengan cepat berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe. Oleh karena itu, apabila tidak mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya ventilasi mulut ke mulut harus dilakukan segera setelah penolong menarik korban. Kemudian harus segera diberikan oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan oksigen harus diberikan tanpa memandang keadaan pasien. Apabila korban dicurigai mengalami trauma leher maka harus dibuat posisi netral dan melindunginya dengan gips cervical (cervical colar)1,5,7.

Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Penolong juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher serta mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah kejang5.

Kategori A

Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen thorax. Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2, pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah dapat dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan diberi pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama 12 sampai 24 jam5,16,20,22.

Kategori B

Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain pemberian oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B simptometik untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang terkontaminasi.

Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi pernapasan dan neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia yang mengiritasi sehingga korban ini membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian infus sering diberikan untuk meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas (40--43oC) untuk pasien hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa memancing timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak pertama pasien ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan biasanya memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru5,7,13,18.

Kategori C

Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi. Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama, termasuk mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan espirasi 4 sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. Bic-Nat, bronchodilator, diuretik, dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian membuktikan bahwa mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai 35%. Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama priode pengobatan2,23.

Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada korban yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak memberikan respons yang memuaskan1,5. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat inotropik IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien yang mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien bradikardi. Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti dengan pemberian phenobarbital seperti Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV bisa digunakan untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien, mengurangi kebutuhan metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1 mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi. Pasien kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan untuk mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan neurologis serta dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai5.

Prognosis

Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, banyak penderita hampir tenggelam berat berhasil diselamatkan, ± 80% anak korban meninggal dapat bertahan hidup, dan 92% di antaranya sembuh sempurna. Tetapi, mereka yang memerlukan perawatan di ICU ± 30% meninggal dan 10--30% yang bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang berat6,7. Hal ini erat hubungannya dengan lama hipoksia yang terjadi dan usaha kita menanggulanginya. Di samping itu, faktor lain yang dapat memperberat prognosa adalah usia ≤ 3 tahun, lama tenggelam diperkirakan maksimal ≥ 10 menit, tidak ada restitusi jantung paru dalam 10 menit setelah ditolong, koma ketika masuk ke ruang gawat darurat, dan pH < 7,11 (sesuai dengan kriteris Orlowsky). Penderita yang tenggelam di air dingin mempunyai prognosa jauh lebih baik. Untuk mencegah terjadinya gejala sisa pada korban hampir tenggelam maka peranan pertolongan resusitasi jantung paru pada saat kejadian memegang peranan yang sangat penting2,19,24,25.

Kesimpulan

Korban dikatakan hampir tenggelam apabila korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Apabila tidak dilakukan penanganan segera maka sebagian besar pasien mengalami kerusakan organ yang multipel dimana otak merupakan organ yang sangat peka dalam hal ini.

Patofisiologi korban hampir tenggelam sangat tergantung kepada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Oleh sebab itu, tindakan di luar rumah sakit atau di tempat kejadian tenggelam menentukan hasil tindakan di rumah sakit dan prognosa selanjutnya.

Untuk pengelolaan, korban hampir tenggelam dikategorikan berdasarkan status neurologis. Kategori A dan B biasanya membutuhkan perawatan medis supportif sedangkan penderita yang termasuk dalam kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Juga harus dicari dan ditangani trauma yang timbul, seperti masalah kejang.

manfaat akupuntur muka



MANFAAT AKUPUNKTUR MUKA

  1. Mengencangkan dan menghaluskan kulit muka
  2. Mengurangi keriput dan kantong mata
  3. Memperkuat Sistem Saraf Pusat
  4. Mencegah / mengurangi / mengobati penyakit – penyakit :
    1. stroke              : brain attack
    2. cephalgia         : pusing, sakit kepala
    3. migrain            : sakit kepala sebelah
    4. vertigo             : pusing berputar
    5. sinusitis           : radang karang hidung
    6. rhinitis             : flu, pilek, bersin2
    7. insomnia          : susah tidur

TATACARA
  1. Tahap I                                                                                                                                         Bagi yang belum pernah, minimal 12 kali berturut-turut, dilakukan 1 kali seminggu, boleh 2-3 kali seminggu
  1. Tahap II                                                                                                                                  Setelah tahap I, jadwalnya lebih fleksibel. Sebaiknya rutin 1 kali seminggu, tidak ada batas waktu, makin sering makin bagus, tak ada efek samping. Kalau tidak dempat boleh  1 kali sebulan, minimal 1 kali dalam 3 bulan.

Diet Akupuntur



DIET AKUPUNKTUR

Sarapan                 : dua iris roti (dibakar), buah2an
Makan siang        : nasi 3-4 sendok makan, lauk 1 macam, sayur 2 macam
Makan malam     : sayur dan buah2an

Lauk-lauk :
Tahu, tempe, daging sapi tanpa lemak, ayam tanpa kulit, ikan jangan digoreng.
Buah-buahan :
Terutama apel, belimbing, bengkoang, pepaya, jeruk, semangka, tomat, pir, melon, jambu biji.

Pantangan :
Lemak-lemak misalnya goreng-gorengan, lemak dari daging, kulit ayam, mentega, santan, kacang tanah, kacang mede, telur puyuh.
Manis-manis misalnya gula, madu, cake, ice cream, permen, sirup, dodol, coklat, biscuit.
Buah-buahan berkalori tinggi misalnya alpukat, nangka, sawo, mangga, pisang, cempedak, anggur, leci, kelengkeng, sirsak, stroberi, rambutan, duku.
Makanan atau minuman bergizi tinggi misalnya susu nonfat, ovaltin, milo, keju.
Minuman ringan atau yang mengandung alkohol, teh botol, termasuk wine.
Mie atau pasta.
Seafood kecuali ikan.

Catatan
Pagi sarapan sebelum jam 9 pagi
Makan siang wajib dan harus tepat waktu, jam 12.00-13.00. (menghindari sakit maag)
1 jam setelah berolahraga baru boleh makan
Olahraga yang disarankan hanya jogging atau threadmill




DIET AKUPUNKTUR

Sarapan                 : dua iris roti (dibakar), buah2an
Makan siang        : nasi 3-4 sendok makan, lauk 1 macam, sayur 2 macam
Makan malam     : sayur dan buah2an

Lauk-lauk :
Tahu, tempe, daging sapi tanpa lemak, ayam tanpa kulit, ikan jangan digoreng.
Buah-buahan :
Terutama apel, belimbing, bengkoang, pepaya, jeruk, semangka, tomat, pir, melon, jambu biji.

Pantangan :
Lemak-lemak misalnya goreng-gorengan, lemak dari daging, kulit ayam, mentega, santan, kacang tanah, kacang mede, telur puyuh.
Manis-manis misalnya gula, madu, cake, ice cream, permen, sirup, dodol, coklat, biscuit.
Buah-buahan berkalori tinggi misalnya alpukat, nangka, sawo, mangga, pisang, cempedak, anggur, leci, kelengkeng, sirsak, stroberi, rambutan, duku.
Makanan atau minuman bergizi tinggi misalnya susu nonfat, ovaltin, milo, keju.
Minuman ringan atau yang mengandung alkohol, teh botol, termasuk wine.
Mie atau pasta.
Seafood kecuali ikan.

Catatan
Pagi sarapan sebelum jam 9 pagi
Makan siang wajib dan harus tepat waktu, jam 12.00-13.00. (menghindari sakit maag)
1 jam setelah berolahraga baru boleh makan
Olahraga yang disarankan hanya jogging atau threadmill

Jumat, 28 Februari 2014

SARKOMA JARINGAN LUNAK



SARKOMA JARINGAN LUNAK
Introduksi
a. Definisi
Sarkoma jaringan lunak adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan mesenchym yang terdapat pada kerangka tubuh, kepala, leher dan ekstremitas kecuali tulang dan tulang rawan.
Dalam kategori jaringan lunak termasuk otot, tendon, fascia, ligament, lemak, pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf perifer, saraf autonom, ganglion, bursa, synovia, kartilago palpebra, kartilango telinga dan lain-lain, namun tidak termasuk tulang, kartilago, sumsum, kartilago hidung, mamae dan jaringan lunak dalam organ.
Insidennya di Indonesia belum diketahui pasti, namun diperkirakan 1 per 100.000 penduduk dan merupakan 1% dari seluruh tumor ganas. Sekitar 60% sarkoma jaringan lunak mengenai ekstremitas, dimana ekstremitas bawah 3 kali lebih sering daripada ekstremitas atas. Sisanya, 30% mengenai badan dan 10% mengenai kepala dan leher.
Faktor predisposisi sarkoma jaringa lunak adalah genetika, radiasi, virus, iatrogenik (mis. Radiasi), dan imunologi.
b. Pemeriksaan Klinis
A. Anamnesis
Keluhan sangat tergantung dari dimana tumor tersebut tumbuh. Keluhan utama pasien SJL daerah ekstremitas tersering adalah benjolan yang umumnya tidak nyeri dan sering dikeluhkan muncul setelah terjadi trauma didaerah tersebut. Untuk SJL lokasi di visceral/retroperitoneal umumnya dirasakan ada benjolan abdominal yang tidak nyeri, hanya sedikit kasus yang disertai nyeri, kadang-kadang terdapat pula perdarahan gastro intestinal, obstruksi usus atau berupa gangguan neuro vaskular.
Perlu ditanyakan bila terjadi dan bagaimana sifat pertumbuhannya, keluhan yang berhubungan dengan infiltrasi dan penekanan terhadap jaringan sekitar, dan ketuhan yang berhubungan dengan metastasis jauh.


B. Pemeriksaan Fisik
  1. Pemeriksaan status generalis untuk menilai keadaan umum penderita dan tanda-tanda metastasis pada paru, hati dan tulang.
  2. Pemeriksaan status lokalis meliputi:
a. Tumor primer:
  • Lokasi tumor
  • Ukuran tumor
  • Batas tumor, tegas atau tidak
  • Konsistensi dan mobilitas
  • Tanda-tanda infiltrasi, sehingga perlu diperiksa fungsi motorik/sensorik dan tanda-tanda bendungan pembuluh darah, obstruksi usus, dan lain-lain sesuai dengan lokasi lesi.
b. Metastasis regional:
Perlu diperiksa ada atau tidaknya pembesaran kgb regional.
C. Pemeriksaan Penunjang
  1. Foto polos untuk menilai ada tidaknya inliltrasi pada tulang.
  2. MRI/CT-scan untuk menilai infiltrasi pada jaringan sekitarnya
  3. Angiografi atas indikasi
  4. Foto thoraks untuk menilai metastasis paru
  5. USG hepar/sidik tulang atas indikasi untuk menilai metastasis
  6. Untuk SJL retroperitoneal perlu diperiksa fungsi ginjal.
  7. Biopsi
  • Tidak dianjurkan pemeriksaan FNAB (sitologi)
  • · Sebaiknya dilakukan “core biopsy” atau “tru cut biopsy” dan lebih dianjurkan untuk dilakukan biopsi terbuka, yaitu bila ukuran tumor < 3 cm dilakukan biopsi eksisi dan bila > 3 cm dilakukan biopsi insisi.
8.   Untuk kasus kasus tertentu bila meragukan dilakukan emeriksaan imunohistokimia
Setelah dilakukan pemeriksaan di atas diagnosis ditegakkan, selanjutnya ditentukan stadium sebelum melakukan tindakan terapi terlebih dahulu harus dipastikan kasus SJL tersebut kurabel atau tidak, resektabel atau tidak, dan modalitas terapi yang dimiliki, serta tindakan rehabilitasi
PROSEDUR TERAPI
Dibedakan atas lokasi SJL, yaitu:
  1. Ekstremitas
  2. Visceral/ retroperitoneal
  3. Bagian tubuh lain
  4. SJL dengan metastasis jauh
A. Ekstremitas
Pengelolaan SJL di daerah ekstremitas sedapat mungkin haruslah dengan tindakan “the limb-sparring operation” dengan atau tanpa terapi adjuvant (radiasi/khemoterapi). Tindakan amputasi harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Tindakan yang dapat dilakukan selain tindakan operasi adalah dengan khemoterapi intra arterial atau dengan hyperthermia dan “limb perfusion“.
1. SJL Pada Ekstremitas Yang Resektabel
Setelah diagnosis klinis onkologi dan diagnosis histopatologi ditegakkan secara biopsi insisi/eksisi, dan setelah ditentukan gradasi SJL serta stadium klinisnya, maka dilakukan tindakan eksisi luas. Untuk SJL yang masih operabel/resektabel, eksisi luas yang dilakukan adalah eksisi dengan “curative wide margin‘: yaitu eksisi pada jarak 5 cm atau lebih dari zona reaktif tumor yaitu daerah yang mengalami perubahan warna disekitar tumor yang terlihat secara inspeksi, yang berhubungan dengan jaringan yang vaskuler, degenerasi otot, edema dan jaringan sikatrik.
  • Untuk SJL ukuran < 5 cm dan gradasi rendah, tidak ada tindakan adjuvant setelah tindakan eksisi luas.
  • oBila SJL ukuran > 5 cm dan. gradasi rendah, perlu ditambahkan radioterapi eksterna sebagai terapi adjuvan.     erlu ditambahkan
  • Untuk SJL ukuran 5-10 cm dan gradasi tinggi dittambahkan radioterapi eksterna atau brakhiterapi sebagai terapi adjuvan
  • Bila SJL ukuran > 10 cm dan gradasi tinggi, pertu dipertimbangkan pemberian khemoterapi preoperatif dan pasta operatif dilakukan pemberian radioterapi eksterna atau brakhiterapi.
2. SJL Pada Ekstremitas Yang Tidak Resektabel
Ada 2 pilihan yang dapat dilakukan, yaitu:
Sebelum tindakan eksisi luas terlebih dahulu ditakukan radioterapi preoperatif atau neo adjuvan khemoterapi sebanyak 3 kali.
Pilihan lain adatah dilakukan terlebih dahulu eksisi kemudiian dilanjutkan dengan radiasi pasta operasi atau khemoterapi. Eksisi yang dapat dilakukan:
  • Eksisi “wide margin” yaitu 1 cm diluar zona reaktif.
  • Eksisi “marginal margin” yaitu pada batas pseudo capsul.
  • Eksisi “intralesional margin” yaitu memotong parenchim tumor atau debunking, dengan syarat harus membuang massa tumor > 50% dan tumornya harus berespon serhadap radioterapi atau khemoterapi.
Perlu perhatian khusus untuk SJL yang tidak ada respon terhadap radioterapi atau khemoterapi dapat dipertimbangkan tindakan amputasi.
B. SJL Di Daerah Viseral/Retroperitoneol
Jenis histopatotogi yang sering ditemukan adalah liposarkoma dan leiomiosarkoma. Bila dari penilaian klinis/penunjang ditegakkan diagnosis SJL viseral/retroperitoneal harus dilakukan pemeriksaan tes fungsi ginjal dan pemeriksaan untuk menilai pasase usus. Sebelum operasi dilakukan “persiapan kolon” untuk kemungkinan dilakukan reseksi kolon. Modalitas terapi yang utama untuk SJL viseral/retroperitoneal adalah tindakan operasi.
Bita SJL telah menginfiltrasi ginjal dan dari tes fungsi ginjal diketahui ginjal kontralateral dalam kondisi baik, maka tindakan eksisi luas harus disertai dengan tindakan nefrektomi. Dan bila telah menginfiltrasi kolon, maka dilakukan reseksi kolon.
Seringkali tindakan eksisi luas yang dilakukan tidak dapat mencapai reseksi radikal karena terbatas oleh organ-organ vital seperti aorta, vena cava, dan sebagainya, sehingga tindakan yang dilakukan tidak radikal dan terbatas pada pseudo kapsul. Untuk kasus yang demikian perlu dipikirkan terapi adjuvan, berupa khemoterapi dan atau radioterapi.
D. SJL Dengan Metastasis luas
Bila lesi metastasis tunggal masih operabel/ resektabel dapat dilakukan tindakan eksisi, tetapi bila tidak dapat dieksisi, maka dilakukan khemoterapi dengan Doxorubicin sebagal obat tunggal atau dengan obat khemoterapi kombinasl, yaitu Doxorublcin + Ifosfamide, terutama untuk pasten dengan status performance yang baik.
Obat-obat kombinasi yang lain adalah :
  • Doxorubicin + Dacarbazine
  • CyVADIC
  • Doxorubicin + Ifosfamide + Mesna + Dacarbazine
b. Ruang lingkup
Sarkoma jaringan lunak
c. Indikasi operasi
Semua sarkoma jaringan lunak. Terapi primer sarkoma jaringan lunak adalah eksisi luas.
d. Kontra indikasi operasi
Keadaan umum yang buruk, tumor dengan metastasis (relative)
e. Diagnosis Banding
Tumor ganas, Tumor jinak jaringan lunak
f. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap, faal hemostasis, fungsi hati, fungsi ginjal, rontgen thorax, USG abdomen, foto tulang, CT Scan/MRI, hasil patologi anatomi biopsi/kelenjar limfe regional dengan atau tanpa immunohistokimia
ALGORITMA DAN PROSEDUR
Algoritma
Pembedahan merupakan terapi yang utama pada sarkoma soft tissue. Pembedahan secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yaitu Amputasi dan pembedahan yang mempertahankan tungkai.
1.  Amputasi
Amputasi dilakukan pada sarkoma enggota gerak dengan batas satu sendi diatasnya. Ada beberapa syarat bila kita melakukan amputasi:
  • Lokal rekuren pada high grade karsinoma
  • Mengenai pembuluh darah utama
  • Mengenai jaringan saraf yang utama
  • Sudah mengenai tulang di bawahnya
  • Sudah teradi kontaminasi sel karsinoma yang lugs
  • Sudah terjadi fraktur patologis
  • Infeksi pada tempat biopsi atau tumornya sendiri
2. Pembedahan yang mempertahankan anggota gerak (limb salvage)
Dalam pembedahan yang mempertahankan anggota gerak, bisa kita lakukan beberapa prosedur antara lain: Compartment resection, wide local excition dan marginal excition
Marginal Excition
  • Pada marginal eksisi, eksisi dilakukan melalui pseudocapsul (reactive zone) dimana secara mikroskopis sel-sel karsinoma masih tertinggal, daerah yang kita operasi terkontaminasi oleh sel-sel karsinoma. Terjadinya rekurensi tinggi, bisa mencapai 100% pada yang high grade dan pada yang low grade juga tinggi.
  • Biasanya marginal eksisi dilakukan pada sarkoma di retroperitoneal atau pada kepala-leher, yang segera diikuti dengan pemberian radioterapi dan kemoterapi.
Wide lokal eksisi
  • Pada wide lokal eksisi, eksisi dilakukan 2-3 cm diluar pseudocapsul (reactive zone), bila kita ingin menyelamatkan saraf dan pembuluh darah maka eksisi bisa dilakukan lebih sempit lagi.
  • Sebelum kita melakukan wide lokal eksisi, kita harus memperhatikan tipe histologi, grade, ukuran tumor, dan lokasinya dimana.
Compartment reseksi
  • Compartment reseksi adalah suatu tindakan yang radikal pada operasi penyelamatan anggota gerak yang mana tumor beserta dengan otot di sekitarnya pada compartment tersebut diangkat.
  • Reseksi ini seringkali dilakukan pada ekstremitas bawah yang terbagi menjadi compartment anterior, medial dan posterior.
  • Sarkoma pada paha yang tidak melewati batas dari compartment dapat dilakukan compartment reseksi.
ad. Reseksi compartment anterior
  • Compartement anterior meliputt otot vastus lateralis, vastus medius, vastus intermedius, rectus femoria, sartorius serta saraf femoralis ramus kutanaeus.
  • Pada reseksi anterior idealnya dilakukan pada tumor yang hanya mengenai kelompok otot quadrisep (vastus lateralis, vastus medius, vastus intermedius serta rectus femoris) dan tidak mengenai tulang atau struktur neurovaskuler yang penting.
  • Setelah dilakukan reseksi compartment anterior terjadi kelemahan ekstensi dari kaki dan hilangnya sensasi pada paha daerah anterior serta bagian medial dari kaki.
  • Untuk kelemahan dari ekstensi dapat dilakukan operasi transplantasi dari otot lateral atau medial, lalu pasien menggunakan ankle/foot orthosis (AFO) dengan plantar fleksi 5°.
  • Radioterapi sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan disfungsi dari seksual, merusak rekonstruksi tendon, dan tertadinya kekakuan yang hebat pada lutut.
Teknik Operasi
A. Reseksi compartment anterior
  • Compartement anterior meliput otot vastus lateralis, vastus medius, vastus intermedius, rectus femoria, sartorius serta saraf femoralis ramus kutanaeus.
  • Pada reseksi anterior idealnya dilakukan pada tumor yang hanya mengenai kelompok otot quadrisep (vastus lateralis, vastus medius, vastus intermedius serta rectus femoris) dan tidak mengenai tulang atau struktur neurovaskuler yang penting.
  • Setelah dilakukan reseksi compartment anterior terjadi kelemahan ekstensi dari kaki dan hilangnya sensasi pada paha daerah anterior serta bagian medial dari kaki.
  • Untuk kelemahan dari ekstensi dapat dilakukan operasi transplantasi dari otot lateral atau medial, lalu pasien menggunakan ankle/foot orthosis ( AFO ) dengan plantar fleksi 5°.
  • Radioterapi sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan disfungsi dari seksual, merusak rekonstruksi tendon, dan terjadinya kekakuan yang hebat pada lutut.
  1. Posisi pasien telentang.
  2. Insisi elip longitudinal mulai dari anterior inferior iliac spine sampai ke patella, bila patella terkena insisi diperlebar sampai tuberkel tibia, tulang patella juga dieksisi
  3. Kita buat flap (kulit dan jaringan subcutan) superficial dari fascia lata dengan batas medialnya otot adductor dan batas lateralnya otot-otot fleksor vena saphena diligasi pada fossa ovalis
  4. Otot-otol quadriceps kita traksi ke lateral, cabang arteri dan vena femoralis yang ke otot-otot tersebut kita ligasi mulai dari atas ke bawah, pada daerah kanal hunter kita memotong otot yang melintang arteri femoralis
  5. Pemotongan origo dan otot tensor fascia lata pada wing dari tulang ilium, origo dari otot sartorius pada SIAS, serta origo dari otot rectus femoris pada anterior inferior iliac spine dengan elektrocauter
  6. Dilanjutkan dengan pemotongan origo dari otot-otot vastus lateralis, medial dan intermedius pada femur.
  7. Insersi pada tulang patella dipotong pada tulang tersebut juga ikut terpotong bursa dari pre dan postpatela serta insersi otot vastus medial juga dipotong pada ligamen kolateral medialis
  8. Rekonstruksi dilakukan dengan menjahitkan otot-otot gracilis dan bisep femoris ke tendon dari patella setelah kita bebaskan dari ligamen kolateral medial dan lateral lalu kedua otot tersebut kita jahitkan untuk menutupi
  9. 1 /3 distal dari femur
  10. Cuci luka operasi dengan cairan normal saline lalu pasang dua buah drain dibawah flap. Dan fiksasi drain pada kulit lalu dihubungkan pada sistim suction tertutup dengan vakum. Mobilisasi pasien setelah edema berkurang
  11. 2 minggu kemudian penderita memakai ankle/fool orthosis
B. Reseksi compartment posterior
Compartment posterior meliputi otot hamstring group. Reseksi ini idealnya dilakukan pada tumor grade 1 dan grade 2 yang terbatas pada compartment ini. Bila tumor sudah mengenai nervus sciatic, maka nervus ini diambil juga dengan fungsi kaki yang memuaskan.
1.  Posisi pasien tertelungkup
2.  Insisi elip dari poplitea sarnpai pelipatan pantat, lalu dibuat flap dengan batas medialnya otot gracilis dan batas lateralnya iliotibial tract
3.  Flap dilakukan lalu tampak otot-otot semitendinosus, semimembranosus, bisep femoris
4.  Klem Origo lalu dipotong pada ischial tuberositas
5.  Kemudian otot-otot dibebaskan
6.  Arteri, vena yang ke otot-otot tersebut diligasi serta nervus juga dipotong
7. Insersi dari otot bisep femoris (long head) dipotong pada daerah tendonnya, disini hati-hati jangan mencederai nervus peroneus
8. Insersi dari otot semimembranosus dan semitendinosus dipotong pada daerah tendonnya
9. Nervus sciatic juga diangkat bila terkena infiltrasi tumor
10.  Kemudian cuci luka dengan cairan normal saline lalu pasang dua drain. Dan fiksasi drain pada kulit lalu dihubungkan pada sistem suction tertutup dengan vakum
C. Reseksi compartment medial
Compartment medial meliputi m. gracilis, adductor (longs, brevis, magnus) dan m. pectineus. Reseksi ini hasilnya paling baik dibandingkan dengan yang lain. Eksisi dari kelenjar getah bening tidak dianjurkan kecuali bila tumor tersebut secara langsung mengenai kelenjar tersebut, pada rhabdomiosarcoma atau sinovial sarcoma yang Bering metastase ke kelenjar getah bening, kelainan pada kelenjar hanya sebesar 20%.
  1. Posisi pasien terlentang dengan kaki sedikit fleksi dan abduksi.
  2. Insisi elip dari tuberkel pubis sampai epicondilus medialis dari tibia, T insisi dilakukan bila tumor tersebut besar atau pada bagian atas dari otot-otot adductor, flap dibuat dengan batas lateral otot sartorius, batas medialnya otot­oitot fleksor.
  3. Kita buat flap dengan batas atas ramus pubis, batas bawah epicondilus medial dari tibia, batas lateral otot sartorius, batas medialnya otot-otot fleksor.
  4. Arteri femoralis profondus diligasi dibagian distal dari medial circumflex arteri femoralis
  5. Otot-otot adductor dipotong origonya pada tulang pubis mulai dari origo otot pectineus, adductor longus, adductor brevis, gracilis, adductor magnus
  6. Secara tajam otot-otot adductor dibebaskan dari otot-otot fleksor dan nervus sciatic
  7. Kemudian cuci luka dengan cairan normal saline lalu pasang dua buah drain dan fiksasi drain pada kulit lalu hubungkan pada sistim suction tertutup dengan vakum
g.  Komplikasi operasi
a. Perdarahan
Bila hemostasis tidak baik, dapat terjadi perdarahan di daerah operasi. Pada insisional biopsi tumor, mudah terjadi perdarahan. Bila perdarahan merembes dan tidak dapat dijahit (jaringan rapuh), dilakukan penekanan dan balut tekan diatas titik perdarahan
b. Infeksi dan Nekrosis Flap
Infeksi dapat muncul bila tehnik aseptik tidak dilaksanakan dengan tepat, atau sudah ada infeksi di daerah yang di biopsi. Nekrosis flap terjadi bila terlalu tegang atau terlalu tipis, atau tulang menekan flap dari dalam (pemotongan tulang kurang pendek).
h. Komplikasi Operasi
Perdarahan, Infeksi, Nekrosis
i. Mortalitas
Tergantung berat – ringannya penyakit
j. Perawatan Pasca Bedah
  • Elevasi tungkai selama 3-5 hari untuk mencegah edema post operasi
  • Drain diangkat kira-kira pada hari ke 5 bila produsi minimal
  • Antibiotika diberikan selama 3-5 hari sampai drain diangkat
  • Isometrik exercise esok harinya setelah operasi
k. Follow-up
Evaluasi atas hasil pemeriksaan patologi anatomi